Home » » LAYANAN KONSELING DISELENGGARAKAN SECARA RESMI

LAYANAN KONSELING DISELENGGARAKAN SECARA RESMI

Written By hmp BK trenggalek on Minggu, 30 Oktober 2011 | 19.50

BAB I
PENDAHULUAN


1.1.       LATAR BELAKANG
Di dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah harus selalu berjalan dengan baik, hal ini harus selalu diusahakan oleh seluruh warga sekolah, terutama guru dan siswa. Untuk mewujudkan cita-cita siswa yang ada, harus diadakan proses pembelajaran yang dapat diterima dan dipahami oleh siswa. Pembelajaran ini dapat tercipta dengan baik jika guru selalu siap dengan materi pembelajaran yang akan diberikan dan juga tidak terlepas dari minat dan keinginan siswa itu sendiri. Selain itu siswa juga harus selalu merasa bahwa kondisinya aman, nyaman, dan menyenangkan pada setiap proses belajar berlangsung.
Ketika kita amati, siswa yang rajin belajar adalah siswa yang tidak bermasalah, sehingga jika siswa tersebut mendapatkan suatu masalah maka dapat dipastikan akan mengurangi minat dan kemauan dalam belajar. Hal ini merupakan salah satu tugas dari guru pembimbing/ konselor sekolah dalam melaksanakan profesinya. Tugas itu adalah membantu siswa dalam memahami masalah yang diderita dengan memberikan pelayanan yang terbaik pada setiap proses bimbingan dan konseling berlangsung.
Salah satu pelayanan yang diberikan kepada siswa adalah kegiatan konseling. Kegiatan konseling merupakan suatu proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangan dirinya, dan untuk mencapai perkembangan yang optimal tentang kemampuan pribadi yang dimilikinya. Proses tersebut dapat terjadi setiap waktu. Salah satu layanan konseling adalah layanan konseling perorangan. Layanan ini merupakan layanan bimbingan dan konseling yang ditujukan untuk individu agar memperoleh layanan secara langsung dengan cara tatap muka antara konselor dan individu dalam rangka memberikan bantuan atas permasalahan yang dihadapi individu.


1.2.       TUJUAN
Pembelajaran tentang layanan konseling perorangan harus dilakukan secara resmi ini memiliki beberapa tujuan, yang antara lain :
1.        Mampu mengkaji teori layanan konseling perorangan harus dilakukan secara resmi.
2.        Dapat mengetahui ciri-ciri layanan konseling perorangan harus dilakukan secara resmi.
3.    Mampu memahami akibat yang diwujudkan jika keresmian layanan konseling perorangan tidak dilaksanakan oleh konselor.
4.   Mampu menerapkan layanan konseling perorangan harus dilakukan secara resmi dalam dunia Bimbingan dan Konseling di sekolah.




BAB II
PEMBAHASAN


2.1.       CIRI-CIRI KERESMIAN PELAKSANAAN LAYANAN KONSELING PERORANGAN
2.1.1.      Layanan Konseling Diselenggarakan Secara “Resmi”
Layanan konseling perorangan adalah layanan bimbingan dan konseling yang merupakan individu memperoleh layanan secara langsung dengan cara tatap muka antara konselor dan individu dalam rangka memmberikan bantuan atas permasalahan yang dihadapi individu. Kemudian alasan layanan konseling bersifat ‘resmi” karena layanan itu merupakan suatu kegiatan yang disengaja, mempunyai tujuan untuk kepentingan dan kebahagiaan individu. Kegiatan konseling dilakukan atas format yang sudah disepakati, menggunakan metode dan teknologi yang telah teruji dan hasil pelayanan dinilai dan diberi tindak lanjut.
Selanjutnya dalam pengentasan masalah melalui konseling, terdapat beberapa langkah yaitu:
- Memahami permasalahan
- Analisis sebab timbulnya masalah
- Aplikasi metode khusus
- Evaluasi
- Tindak lanjut
Konseling merupakan layanan yang teratur, terarah, dan terkontrol, serta tidak diselenggarakan secara acak ataupun seadanya. Sasaran (subjek penerima layanan), tujuan, kondisi dan metodologi penyelenggaraan layanan telah digariskan dengan jelas. Sebagai rambu-rambu pokok dalam pelaksanaan layanan konseling, Munro dkk. (1979) mengemukakan tiga dasar etika konseling, yaitu:
(a) kerahasiaan,
(b) keterbukaan, dan
(c) tanggung jawab pribadi klien.
Di atas landasan sebagaimana telah diutarakan itu, sifat “resmi” layanan konseling ditandai dengan adanya ciri-ciri yang melekat pada pelaksanaan layanan itu, yaitu bahwa :
a.    Layanan itu merupakan usaha yang disengaja.
b.    Tujuan layanan tidak boleh lain dari pada untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
c.    Kegiatan layanan diselenggarakan dalam format yangtelah ditetapkan.
d.   Metode dan teknologi dalam layanan berdasar teori yangtelah teruji.
e.    Hasil layanan dinilai dan diberi tindak lanjut.
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, tujuan konseling umum bimbingan dan konseling adalah pemeliharaan dan pengembangan diri klien seutuhnya. Kepentingan dan kebahagiaan klien yang menjadi arah layanan konseling secara langsung mengacu kepada pemeliharaan dan pengembangan klien itu. Apa pun yang muncul dalam layanan bimbingan dan konseling harus diarahkan pada tujuan tersebut; dan apa pun yang menjadi persepsi, sikap dan tindakan konselor harus berorientasi pada tujuan positif bagi klien itu. Lebih jauh, sebuah kondisi yang terbangun selama hubungan konseling berlangsung dan berbagai kemungkinan implikasinya, baik ditinjau dari sisi klien, konselor, maupun kondisi hubungan itu sendiri, tidak lain adalah untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
Format apa pun yang terbentuk, standar atau hasil modifikasi efek yang diharapkan dari terbentuknya format itu adalah :
a.    Konselor sepenuhnya menghadapi (dan mencurahkan perhatian kepada) klien; dan sebaliknya klien dapat sepenuhnya memperhatikan konselor dalam hal ini baik klien maupun konselor menyediakan diri dalam kondisi transparan (tidak ada yang ditutup-tutupi).
b.    Klien benar-benar melihat dan merasakan bahwa konselor dalam “sikap sempurna” selalu memperhatikan (dalam arti positif) diri klien dan permasalahannya.
c.    Suara, mimik dan gerak-gerik klien dan konselor jelas ditangkap oleh pihak lainnya.
d.   Klien dan konselor mudah bergerak.
e.    Klien dan konselor merasa dekat satu sama lain, sambil tetap menjaga jarak. Format hubungan konseling yang diterapkan oleh seorang konselor boleh jadi tidak sama untuk semua kliennya. Format standar dan berbagai modifikasinya dipakai secara bervariasi sesuai dengan kondisi klien, kondisisosial budaya, kondisi ruang dan peralatan yang ada, dan kondisi konselor sendiri.

2.1.2.      Pengentasan Masalah Melalui Konseling 
Melalui konseling klien mengharapkan agar masalah yang dideritanya dapat dientaskan. Langkah-langkah umum upaya pengentasan masalah melalui konseling pada dasarnya adalah :
a. Pemahaman masalah; 
b. Analisis sebab-sebab timbulnya masalah;
c. Aplikasi metode khusus;
d. Evaluasi;
e. Tindak lanjut.
  Kegiatan pengenalan dan pemahaman masalah secara umum telah dibahas pada bagian terdahulu. Dalam konseling klien dan konselor harus benar- benar memahami masalah yang dihadapi klien, sedapat-dapatnya secara lengkap dan rinci. Pemahaman masalah oleh klien harus benar-benar persis sama dengan pemahaman konselornya dan objektif sebagaimana adanya masalah itu. Hal itu perlu justru untuk menjamin ketetapan, efektivitas, dan efisiensi proses konseling. Upaya pemahaman masalah itu biasanya dilakukan pada awal proses konselor di luar proses konseling (misalnya melalui laporan pihak ketiga, keterangan dari klien sendiri dalam proses konseling). Konselor tidak seyogyanya meyakini kebenaran suatu pendapat konselor sendiri, apalagi pendapat atau keterangan dari pihak ketiga, tentang klien dan permasalahannya, sebelum dicetak terlebih dahulu kepada klien yang bersangkutan.
Hubungan konseling adalah hubungan pribadi yang terbuka dan dinamisantara klien dan konselor. Hubungan ini ditandai oleh adanya kehangatan, kebebasan dan suasana yang memperkenalkan klien menampilkan diri sebagaimana adanya. Dalam proses konseling tidak ada kata-kata seperti “Andasalah”, “harus begini atau begitu”, “tidak boleh begini atau begitu”, “kok sampai begitu”, atau kata-kata yang mencemooh, merendahkan atau menyesalkan, menilai negatif atau menyalahkan, atau kata-kata yang mencela dan bermakna negatif lainnya. Sebaliknya, juga tidak ada kata-kata seperti “semua terserah Anda”, yang akan menanggung risiko kan Anda sendiri”, “saya tidak maumencampuri urusan Anda” atau kata-kata yang sebenarnya palsu, seperti “Anda sebenarnya memang hebat”, “Anda dapat menyelesaikan semua urusan sendiri”,“anda sebenarnya tidak memerlukan bantuan”, “Anda tidak berdosa”, “Anda tidak perlu menyesali diri sendiri” dan sebagainya. Contoh-contoh tersebut sengaja dikemukakan untuk menekankan betapa pentingnya isi dan suasana wawancara konseling itu. Setiap kata yang dilancarkan dan diluncurkan oleh konselor hendaknya benar-benar tepat dan benar-benar mengenai permasalahannya, dapat menggugah hati serta pikiran klien, tanpa menimbulkan reaksi-reaksi negatif pada diri klien (seperti ragu-ragu, cemas, perasaantersinggung, bangga yang berlebihan atau sombong, sikap mempertahankan diri, masa bodoh, dan lain sebagainya).
Wawancara konseling bukanlah pembicaraan biasa, melainkan dialog terapiutik untuk membantu klien. Terpahaminya masalah klien dengan baik serta tergugahnya hati dan pikiran klien belum tentu serta merta membuahkan hasil terpecahkannya masalah. Dalam hal ini proses konseling masih perlu dilanjutkan dengan penerapan metode khusus sesuai dengan rincian masalah dan sumber-sumber  penyebabnya. Metode-metode khusus bervariasi dari pengembangan penalaran dan kata hati, peneguhan hasrat untuk mencapai tujuan tertentu (dalam rangka pemecahan masalah), latihan merencana suatu kegiatan, pemberian contoh, latihan bersikap dan bertindak, desensitisasi, sampai dengan penerapan program- program komputer dalam konseling (Brammer & Shostrom, 1982).
Penerapan metode khusus ini menjadikan proses konseling tidak semata-mata berdimensiverbal melainkan berkembang menjadi proses multi-dimensional sebagaimana pernah disinggung pada bab terdahulu. Upaya evaluasi dalam proses diakhiri dengan “evaluasi akhir proses”. Konselor dapat meminta klien menyampaikan kesan-kesan dan perasaannyat erhadap proses konseling yang baru saja dijalaninya, hal-hal apa yang sudah dan belum ia peroleh, dan harapan-harapannya, khususnya dengan masalah yang dihadapinya. Hasil evaluasi akhir ini dapat pula dikaitkan dengan rencana lebih lanjut klien, termasuk di dalamnya kemungkinan penerapan hasil-hasil konseling (seperti beberapa alternatif tindakan untuk mencapai tujuan, latihan-latihan bertingkah laku) dalam kehidupan sehari-hari, dan konseling lebih lanjut.
Evaluasi pasca proses konseling biasanya lebih sukar dilakukan, lebih-lebih dengan klien-klien yang berada di luar lembaga tempat konselor bekerja. Konselor sukar menjangkau mereka sehingga evaluasi sistematik sukar dilakukan. Evaluasi insidentil dapat berlangsung apabila konselor bertemu mereka dan menanyakan dampak konseling yang pernah terlaksana, atau melalui pihak ketiga yang mengenal klien. Evaluasi seperti ini derajat kesahihan dan keterandalannya tidak cukup tinggi atau bahkan diragukan.
Untuk klien-klien yang berada dalam lembaga tempat konselor bekerja evaluasi pasca proses lebih mungkin dilaksanakan; apalagi kalau untuk mereka disediakan program pelayanan yang terjadwal sehingga antara klien dan konselor dapat diatur  pertemuan berkala. Evaluasi melalui instrumen tertulis (misalnya angket) jugadapat dilakukan. Hasil evaluasi itu dipakai sebagai masukan dan bahan pertimbangan baik bagi rencana tindak lanjut yang akan dilaksanakan dalam pertemuan terjadwal dengan masing-masing klien, maupun bagi penyusutan program-program pelayanan periode-periode berikutnya.

2.1.3.      Tahap-tahap Keefektifan Pengentasan Masalah Melalui  Konseling 
Sangat diinginkan oleh semua pihak bahwa proses tahap konseling dapatmemberikan hasil yang sebesar-besarnya untuk menunjang perkembangan dan kehidupan klien pada umumnya, dan khususnya untuk mengentaskan masalah klien. Keefektifan pengentasan masalah melalui konseling sebenarnya dapat dideteksi sejak awal klien mengalami masalah. Dari keadaan yang paling awal itu sampai konseling yang paling efektif akhir nantinya pada waktu masalah klien terentaskan, dapat diidentifikasi lima tahap.
Dengan memperhatikan tahap-tahap tersebut akan terlihat apakah klien sejak awalnya sampai dengan akhirnya memang menjalani tahap-tahap yang mengarahkan dirinya untuk mencapai keadaan terentaskan masalahnya. Atau sebaliknya, ia berhenti pada suatu tahap dan tidak melanjutkannya ke tahap berikutnya, sehingga keefektifan pengentasan masalah tidak meningkatkan kepada taraf keefektifan yang lebih tinggi. Namun keefektifan konseling tidak dapat begitu saja. Klien dituntut untuk aktif dalam proses konseling. Keaktifan klien inilah yang justru menentukan tahap keempat keefektifan konseling, dan partisipasi aktif klien itulah yang merupakan keefektifan konseling. Partisipasi aktif klien itu diharapkan dapat terselenggara dari awal proses konseling sampai konseling itu dinyatakan berakhir.
Setelah berakhirnya proses konseling, pertanyaan yang masih tersisa ialah, apakah konseling itu telah memberikan hasil yang benar- benar efektif ? Pertanyaan itu mengacu pada tahap keefektifan konseling yang kelima. Konseling yang telah terselenggara itu benar-benar efektif apabila klien benar-benar menjalankan (menerapkan) hasil-hasil yang telah dicapai melalui konseling dalam kehidupan sehari-hari klien. Dengan kata lain, hasil konseling itu benar-benar mengubah tingkah laku klien, dan dengan demikian masalah klien secara berangsur-angsur teratasi. Kelima tahap keefektifan konseling itu dapat digambarkan melalui diagram sebagai berikut (Diagram 2).


















Catatan :
Sering kali individu datang kepada konselor tanpa memahami masalah yang sebenarnya ada pada dirinya. Pemahaman masalah baru terjadi dalam proses konseling.

2.1.4.      Pendekatan dan Teori Konseling 
Adanya sejumlah teori konseling. Apabila dititik lebih lanjut teori-teori tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendekatan, yaitu pendekatan konseling direktif, konseling non-direktif dan konseling elektrik. Pendekatan-pendekatan ituterutama pendekatan direktif dan non-direktif, masing-masing memiliki pandangan yang berbeda, bahkan di sana-sini bertolak belakang, terutama tentang hakikat tingkah laku individu dan timbulnya masalah.
Perbedaan-perbedaan tersebut mengakibatkan timbulnya perbedaan-perbedaan dalam teknik-teknik konseling yang secara langsung diterapkan terhadap klien.
a.       Konseling Direktif
Konseling direktif berlangsung menurut langkah-langkah umum sebagai berikut :
1)      Analisis data tentang klien,
2)      Pensintesisan data untuk mengenali kekuatan-kekuatan dankelemahan-kelemahan klien,
3)      Diagnosis masalah,
4)      Prognosis atau prediksi tentang perkembangan masalahselanjutnya,
5)      Pemecahan masalah,
6)      Tindak lanjut dan peninjauan hasil-hasil konseling.
Upaya pemecahan masalah didasarkan pada hasil diagnosis yang pada umumnya berbentuk kegiatan yang langsung ditujukan pada pengubahantingkah laku klien.
b.      Konseling Non-Direktif 
Konseling non-direktif sering juga disebut “Client Centered Therapy”. Pendekatan ini diperoleh oleh Carl Rogers dari Universitas Wisconsin di Amerika Serikat. Konseling non-direktif merupakan upaya bantuan pemecahan masalah yang berpusat pada klien. Melalui pendekatan ini, klien diberi kesempatan mengemukakan persoalan, perasaan dan pikiran-pikirannya secara bebas.
Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa seseorang yang mempunyai masalah pada dasarnya tetap memiliki potensi dan mampu mengatasi masalahnya sendiri. Tetapi oleh karena sesuatu hambatan, potensi dan kemampuannya itu tidak dapat berkembang atau berfungsi sebagaimana mestinya. Untuk mengembangkan dan memfungsikan kembali kemampuannya itu klien memerlukan bantuan.
Bertitik tolak dari anggapan dan pandangan tersebut, maka dalam konseling, inisiatif dan peranan utama pemecahan masalah diletakkan di pundak klien sendiri. Sedangkan kewajiban dan peranan utama konselor adalah menyiapkan suasana agar potensi dan kemampuan yang ada pada dasarnya ada pada diri klien itu berkembang secara optimal, dengan jalan menciptakan hubungan konseling yang hangat dan permisif. Suasana seperti itu akan memungkinkan klien mampu memecahkan sendiri masalahnya.
Dalam suasana seperti itu konselor merupakan “agen pembangun” yang mendorong terjadinya perubahan pada diri klien tanpa konselor sendiri banyak masuk dan terlibat langsung dalam proses perubahan tersebut. Menurut Rogers, adalah menjadi tanggung jawab klien untuk membantu dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang penting dalamkonseling non-direktif adalah mengupayakan agar klien mencapai kematangannya, produktif, merdeka dan dapat menyesuaikan diri dengan baik.
c.       Konseling Elektrik
Pendekatan dan teori-teori konseling itu telah ditempa dan dikembangkan oleh pencetus dan ahlinya, dan telah dipelajari oleh berbagai kalangan dalam bidang bimbingan dan konseling. Disadari bahwa setiap pendekatan atau teori itu mengandung kekuatan dan kelemahan, namun semuanya telah menyumbang secara positif pada dunia bimbingan dan konseling, baik secara teoritis maupun secara praktis. Disadari pula bahwa dalam kenyataan praktek konseling menunjukkan bahwa tidak semua masalah dapat dientaskan secara baik hanya dengan satu pendekatan atau teori saja.
Ada masalah yang lebih cocok diatasi dengan pendekatan direktif ,dan ada pula yang lebih cocok dengan pendekatan non-direktif atau dengan teori khusus tertentu. Dengan pendekatan lain, tidaklah dapat ditetapkan bahwa setiap masalah harus diatasi dengan salah satu pendekatan atau teori saja. Pendekatan atau teori mana yang cocok digunakan sangat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:
1)      Sifat masalah yang dihadapi (misalnya tingkat kesulitan dan kekompleksannya).
2)      Kemampuan klien dalam memainkan peranan dalam proses konseling.
3)      Kemampuan konselor sendiri, baik pengetahuan maupun keterampilan dalam menggunakan masing-masing pendekatan atau teori konseling.
Mereka yang mempelajari pendekatan dan teori-teori itu mungkin ada yang tertarik dan merasa dirinya lebih cocok untuk mendalami danmempraktekkan satu pendekatan atau teori konseling tertentu saja, dan mungkin ada pula yang berusaha “menggabungkan” dan tiga teori yang berdekatan dalam wilayah garis kontinum yang dimaksudkan di atas. Kebanyakan di antara mereka bersikap elektrik yang mengambil berbagai kebaikan dari kedua pendekatan ataupun dari berbagai teori konseling yang ada itu, mengembangkan dan menerapkannya dalam praktek sesuai dengan permasalahan klien.
Sikap elektrik ini telah ada sejak lama dan bahkan dianggap lebih tepat dan sesuai dengan filsafat atau tujuan bimbingan dan konseling daripada sikap yang hanya mengandalkan satu pendekatan atau satu-dua teori tertentu saja (Tolbert, 1959; Hansen, dkk.,1977; dan Brammer & Shostrom, 1982).


2.2.       AKIBAT JIKA CIRI-CIRI KERESMIAN ITU TIDAK DIWUJUDKAN OLEH KONSELOR DALAM PELAKSANAAN LAYANAN PERORANGAN
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, tujuan konseling dalam bimbingan dan konseling adalah pemeliharaan dan pengembangan diri klien seutuhnya. Kepentingan dan kebahagiaan klien yang menjadi arah layanan konseling secara langsung mengacu kepada pemeliharaan dan pengembangan klien itu. Apabila keresmian tidak diwujudkan maka konseling tidak dapat dilaksanakan secara teratur, dikarenakan dalam kegiatan konseling memerlukan proses. Tujuan yang ingin dicapai di atas sulit untuk diwujudkan, selama pelaksanaan tidak terkontrol dan diabaikan seadanya.
Konselor tidak sepenuhnya menghadapi dan mencurahkan perhatian kepada klien; dan sebaliknya klien tidak dapat sepenuhnya memperhatikan konselor. Dalam hal ini baik klien maupun konselor menyediakan diri tidak dalam kondisi transparan (ada yang ditutup-tutupi). Klien dan konselor kurang merasa dekat satu sama lain, serta azas keterbukaan tidak akan didapatkan. Hubungan konseling adalah hubungan pribadi yang tidak  terbuka dan tidak dinamis antara klien dan konselor akan menciptakan kerenggangan hubungan.
Wawancara konseling hanyalah pembicaraan biasa, bukan dialog terapiutik untuk membantu klien. Sulit terpahaminya masalah klien dengan baik serta tergugahnya hati dan pikiran klien belum tentu serta merta membuahkan hasil terpecahkannya masalah. Untuk itu proses konseling masih perlu dilanjutkan dengan penerapan metode khusus sesuai dengan rincian masalah dan sumber-sumber  penyebabnya agar layanan konseling dapat dikatakan keresmiaannya.
Evaluasi pasca proses konseling biasanya lebih sukar dilakukan, lebih-lebih dengan klien-klien yang berada di luar lembaga tempat konselor bekerja. Konselor sukar menjangkau mereka sehingga evaluasi sistematik sukar dilakukan. Evaluasi insidentil dapat berlangsung apabila konselor bertemu mereka dan menanyakan dampak konseling yang pernah terlaksana, atau melalui pihak ketiga yang mengenal klien. Evaluasi seperti ini derajat kesahihan dan keterandalannya tidak cukup tinggi atau bahkan diragukan.
Untuk klien-klien yang berada dalam lembaga tempat konselor bekerja evaluasi pasca proses lebih mungkin dilaksanakan; apalagi kalau untuk mereka disediakan program pelayanan yang terjadwal sehingga antara klien dan konselor dapat diatur  pertemuan berkala. Evaluasi melalui instrumen tertulis (misalnya angket) juga dapat dilakukan. Hasil evaluasi itu dipakai sebagai masukan dan bahan pertimbangan baik bagi rencana tindak lanjut yang akan dilaksanakan dalam pertemuan terjadwal dengan masing-masing klien, maupun bagi penyusutan program-program pelayanan periode-periode berikutnya. Baru dengan langkah-langkah di atas layanan konseling dapat dinyatakan keresmiannya.




BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP


3.1.       KESIMPULAN
Layanan konseling perorangan adalah layanan bimbingan dan konseling yang merupakan individu memperoleh layanan secara langsung dengan cara tatap muka antara konselor dan individu dalam rangka memmberikan bantuan atas permasalahan yang dihadapi individu. Layanan konseling bersifat ‘resmi” karena layanan itu merupakan suatu kegiatan yang disengaja, mempunyai tujuan untuk kepentingan dan kebahagiaan individu. Kegiatan konseling dilakukan atas format yang sudah disepakati, menggunakan metode dan teknologi yang telah teruji dan hasil pelayanan dinilai dan diberi tindak lanjut.
Konseling merupakan layanan yang teratur, terarah, dan terkontrol, serta tidak diselenggarakan secara acak ataupun seadanya. Sebagai rambu-rambu pokok dalam pelaksanaan layanan konseling, Munro dkk. (1979) mengemukakan tiga dasar etika konseling, yaitu:
(a) kerahasiaan,
(b) keterbukaan, dan
(c) tanggung jawab pribadi klien.
Di atas landasan sebagaimana telah diutarakan itu, sifat “resmi” layanan konseling ditandai dengan adanya ciri-ciri yang melekat pada pelaksanaan layanan itu, yaitu bahwa :
a.    Layanan itu merupakan usaha yang disengaja.
b.    Tujuan layanan tidak boleh lain dari pada untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
c.    Kegiatan layanan diselenggarakan dalam format yangtelah ditetapkan.
d.   Metode dan teknologi dalam layanan berdasar teori yangtelah teruji.
e.    Hasil layanan dinilai dan diberi tindak lanjut.
Jika ciri-ciri keresmian itu tidak diwujudkan oleh konselor dalam pelaksanaan layanan perorangan maka kepentingan dan kebahagiaan klien yang menjadi arah layanan konseling secara langsung mengacu kepada pemeliharaan dan pengembangan klien itu sulit untuk dicapai. Konselingpun tidak dapat dilaksanakan secara teratur, dikarenakan dalam kegiatan konseling memerlukan proses. Selama pelaksanaan tidak terkontrol dan diabaikan seadanya. Konselor tidak sepenuhnya menghadapi dan mencurahkan perhatian kepada klien; dan sebaliknya klien tidak dapat sepenuhnya memperhatikan konselor. Dalam hal ini baik klien maupun konselor menyediakan diri tidak dalam kondisi transparan (ada yang ditutup-tutupi).


3.2.       PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun, semoga dapat dijadikan bahan untuk mahasiswa agar memiliki gambaran dan pemahaman mengenai proses dunia bimbingan dan konseling yang berlangsung di sekolah, khususnya dalam layanan konseling perorangan yang harus dilakukan secara resmi.
Jika di dalam makalah ini terdapat kata atau kalimat yang kurang berkenan, kami mohon maaf. Dan tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang mendukung dan mendorong terselesaikannya makalah ini.





DAFTAR PUSTAKA


Prayitno dan Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan Konseling. Cetakan ke dua. Jakarta: RINEKA CIPTA.
Lesmana, J.M. 2005. Dasar-dasar Konseling. Jakarta : UI-PRESS
Prayitno. 2005. Layanan Konseling Perorangan. Padang : FIP UNIVERSITAS NEGERI PADANG.
Prayitno, 1995. Layanan Bimbingan & Konseling Kelompok :Dasar & Profil. Cetakan Pertama. Jakarta : GHALIA INDONESIA.
Share this article :

0 komentar:

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Trenggalek konseling - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger