BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Di dalam kegiatan belajar mengajar di
sekolah harus selalu berjalan dengan baik, hal ini harus selalu diusahakan oleh
seluruh warga sekolah, terutama guru dan siswa. Untuk mewujudkan cita-cita
siswa yang ada, harus diadakan proses pembelajaran yang dapat diterima dan
dipahami oleh siswa. Pembelajaran ini dapat tercipta dengan baik jika guru
selalu siap dengan materi pembelajaran yang akan diberikan dan juga tidak
terlepas dari minat dan keinginan siswa itu sendiri. Selain itu siswa juga
harus selalu merasa bahwa kondisinya aman, nyaman, dan menyenangkan pada setiap
proses belajar berlangsung.
Ketika kita amati, siswa yang rajin
belajar adalah siswa yang tidak bermasalah, sehingga jika siswa tersebut
mendapatkan suatu masalah maka dapat dipastikan akan mengurangi minat dan
kemauan dalam belajar. Hal ini merupakan salah satu tugas dari guru pembimbing/
konselor sekolah dalam melaksanakan profesinya. Tugas itu adalah membantu siswa
dalam memahami masalah yang diderita dengan memberikan pelayanan yang terbaik
pada setiap proses bimbingan dan konseling berlangsung.
Salah satu pelayanan yang diberikan
kepada siswa adalah kegiatan konseling. Kegiatan konseling merupakan suatu
proses untuk membantu individu mengatasi hambatan-hambatan perkembangan
dirinya, dan untuk mencapai perkembangan yang optimal tentang kemampuan pribadi
yang dimilikinya. Proses tersebut dapat terjadi setiap waktu. Salah satu layanan
konseling adalah layanan konseling perorangan. Layanan ini merupakan layanan
bimbingan dan konseling yang ditujukan untuk individu agar memperoleh layanan
secara langsung dengan cara tatap muka antara konselor dan individu dalam
rangka memberikan bantuan atas permasalahan yang dihadapi individu.
1.2. TUJUAN
Pembelajaran tentang layanan konseling
perorangan harus dilakukan secara resmi ini memiliki beberapa tujuan, yang
antara lain :
1.
Mampu mengkaji teori layanan konseling
perorangan harus dilakukan secara resmi.
2.
Dapat mengetahui ciri-ciri
layanan konseling perorangan harus dilakukan secara resmi.
3. Mampu memahami akibat yang
diwujudkan jika keresmian layanan konseling perorangan tidak dilaksanakan oleh
konselor.
4. Mampu menerapkan layanan
konseling perorangan harus dilakukan secara resmi dalam dunia Bimbingan dan
Konseling di sekolah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. CIRI-CIRI KERESMIAN PELAKSANAAN LAYANAN
KONSELING PERORANGAN
2.1.1.
Layanan Konseling Diselenggarakan Secara “Resmi”
Layanan konseling perorangan adalah layanan bimbingan
dan konseling yang merupakan individu memperoleh layanan secara langsung dengan
cara tatap muka antara konselor dan individu dalam rangka memmberikan bantuan
atas permasalahan yang dihadapi individu. Kemudian alasan layanan konseling
bersifat ‘resmi” karena layanan itu merupakan suatu kegiatan yang disengaja,
mempunyai tujuan untuk kepentingan dan kebahagiaan individu. Kegiatan konseling
dilakukan atas format yang sudah disepakati, menggunakan metode dan teknologi
yang telah teruji dan hasil pelayanan dinilai dan diberi tindak lanjut.
Selanjutnya dalam pengentasan masalah melalui
konseling, terdapat beberapa langkah yaitu:
- Memahami permasalahan
- Analisis sebab timbulnya masalah
- Aplikasi metode khusus
- Evaluasi
- Tindak lanjut
Konseling merupakan layanan yang teratur, terarah, dan
terkontrol, serta tidak diselenggarakan secara acak ataupun seadanya. Sasaran
(subjek penerima layanan), tujuan, kondisi dan metodologi penyelenggaraan
layanan telah digariskan dengan jelas. Sebagai rambu-rambu pokok dalam
pelaksanaan layanan konseling, Munro dkk. (1979) mengemukakan tiga dasar etika
konseling, yaitu:
(a) kerahasiaan,
(b) keterbukaan, dan
(c) tanggung jawab pribadi klien.
Di atas landasan sebagaimana telah diutarakan itu,
sifat “resmi” layanan konseling ditandai dengan adanya ciri-ciri yang melekat
pada pelaksanaan layanan itu, yaitu bahwa :
a.
Layanan itu merupakan usaha yang disengaja.
b.
Tujuan layanan tidak boleh lain dari pada untuk kepentingan
dan kebahagiaan klien.
c.
Kegiatan layanan diselenggarakan dalam format yangtelah
ditetapkan.
d.
Metode dan teknologi dalam layanan berdasar teori
yangtelah teruji.
e.
Hasil layanan dinilai dan diberi tindak lanjut.
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, tujuan
konseling umum bimbingan dan konseling adalah pemeliharaan dan
pengembangan diri klien seutuhnya. Kepentingan dan kebahagiaan klien yang
menjadi arah layanan konseling secara langsung mengacu kepada pemeliharaan dan
pengembangan klien itu. Apa pun yang muncul dalam layanan bimbingan dan
konseling harus diarahkan pada tujuan tersebut; dan apa pun yang menjadi
persepsi, sikap dan tindakan konselor harus berorientasi pada tujuan positif
bagi klien itu. Lebih jauh, sebuah kondisi yang terbangun selama hubungan
konseling berlangsung dan berbagai kemungkinan implikasinya, baik ditinjau dari
sisi klien, konselor, maupun kondisi hubungan itu sendiri, tidak lain adalah
untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
Format apa pun yang terbentuk, standar atau hasil
modifikasi efek yang diharapkan dari terbentuknya format itu adalah :
a.
Konselor sepenuhnya menghadapi (dan mencurahkan perhatian
kepada) klien; dan sebaliknya klien dapat sepenuhnya memperhatikan konselor
dalam hal ini baik klien maupun konselor menyediakan diri dalam kondisi transparan
(tidak ada yang ditutup-tutupi).
b.
Klien benar-benar melihat dan merasakan bahwa konselor
dalam “sikap sempurna” selalu memperhatikan (dalam arti positif) diri klien
dan permasalahannya.
c.
Suara, mimik dan gerak-gerik klien dan konselor jelas
ditangkap oleh pihak lainnya.
d.
Klien dan konselor mudah bergerak.
e.
Klien dan konselor merasa dekat satu sama lain, sambil
tetap menjaga jarak. Format hubungan konseling yang diterapkan oleh seorang
konselor boleh jadi tidak sama untuk semua kliennya. Format standar dan
berbagai modifikasinya dipakai secara bervariasi sesuai dengan kondisi klien,
kondisisosial budaya, kondisi ruang dan peralatan yang ada, dan kondisi
konselor sendiri.
2.1.2.
Pengentasan Masalah Melalui Konseling
Melalui konseling klien mengharapkan agar masalah yang
dideritanya dapat dientaskan. Langkah-langkah umum upaya pengentasan masalah
melalui konseling pada dasarnya adalah :
a. Pemahaman masalah;
b. Analisis sebab-sebab timbulnya masalah;
c. Aplikasi metode khusus;
d. Evaluasi;
e. Tindak lanjut.
Kegiatan pengenalan dan pemahaman masalah secara
umum telah dibahas pada bagian terdahulu. Dalam konseling klien dan konselor
harus benar- benar memahami masalah yang dihadapi klien, sedapat-dapatnya
secara lengkap dan rinci. Pemahaman masalah oleh klien harus benar-benar persis
sama dengan pemahaman konselornya dan objektif sebagaimana adanya masalah
itu. Hal itu perlu justru untuk menjamin ketetapan, efektivitas, dan
efisiensi proses konseling. Upaya pemahaman masalah itu biasanya dilakukan pada
awal proses konselor di luar proses konseling (misalnya melalui laporan pihak
ketiga, keterangan dari klien sendiri dalam proses konseling). Konselor tidak
seyogyanya meyakini kebenaran suatu pendapat konselor sendiri, apalagi pendapat
atau keterangan dari pihak ketiga, tentang klien dan permasalahannya,
sebelum dicetak terlebih dahulu kepada klien yang bersangkutan.
Hubungan konseling adalah hubungan pribadi yang terbuka
dan dinamisantara klien dan konselor. Hubungan ini ditandai oleh adanya
kehangatan, kebebasan dan suasana yang memperkenalkan klien menampilkan diri sebagaimana
adanya. Dalam proses konseling tidak ada kata-kata seperti “Andasalah”, “harus
begini atau begitu”, “tidak boleh begini atau begitu”, “kok
sampai begitu”, atau kata-kata yang mencemooh, merendahkan atau
menyesalkan, menilai negatif atau menyalahkan, atau kata-kata yang mencela dan
bermakna negatif lainnya. Sebaliknya, juga tidak ada kata-kata seperti “semua
terserah Anda”, yang akan menanggung risiko kan Anda sendiri”, “saya tidak
maumencampuri urusan Anda” atau kata-kata yang sebenarnya palsu, seperti “Anda sebenarnya
memang hebat”, “Anda dapat menyelesaikan semua urusan sendiri”,“anda sebenarnya
tidak memerlukan bantuan”, “Anda tidak berdosa”, “Anda tidak perlu menyesali
diri sendiri” dan sebagainya. Contoh-contoh tersebut sengaja dikemukakan untuk
menekankan betapa pentingnya isi dan suasana wawancara konseling itu. Setiap
kata yang dilancarkan dan diluncurkan oleh konselor hendaknya benar-benar tepat
dan benar-benar mengenai permasalahannya, dapat menggugah hati serta pikiran
klien, tanpa menimbulkan reaksi-reaksi negatif pada diri klien (seperti
ragu-ragu, cemas, perasaantersinggung, bangga yang berlebihan atau sombong,
sikap mempertahankan diri, masa bodoh, dan lain sebagainya).
Wawancara konseling bukanlah pembicaraan biasa,
melainkan dialog terapiutik untuk membantu klien. Terpahaminya masalah klien
dengan baik serta tergugahnya hati dan pikiran klien belum tentu serta
merta membuahkan hasil terpecahkannya masalah. Dalam hal ini proses konseling
masih perlu dilanjutkan dengan penerapan metode khusus sesuai dengan
rincian masalah dan sumber-sumber penyebabnya. Metode-metode khusus
bervariasi dari pengembangan penalaran dan kata hati, peneguhan hasrat untuk
mencapai tujuan tertentu (dalam rangka pemecahan masalah), latihan
merencana suatu kegiatan, pemberian contoh, latihan bersikap dan bertindak,
desensitisasi, sampai dengan penerapan program- program komputer dalam
konseling (Brammer & Shostrom, 1982).
Penerapan metode khusus ini menjadikan proses konseling
tidak semata-mata berdimensiverbal melainkan berkembang menjadi proses multi-dimensional
sebagaimana pernah disinggung pada bab terdahulu. Upaya evaluasi dalam
proses diakhiri dengan “evaluasi akhir proses”. Konselor dapat meminta klien
menyampaikan kesan-kesan dan perasaannyat erhadap proses konseling yang baru
saja dijalaninya, hal-hal apa yang sudah dan belum ia peroleh, dan
harapan-harapannya, khususnya dengan masalah yang dihadapinya. Hasil evaluasi
akhir ini dapat pula dikaitkan dengan rencana lebih lanjut klien, termasuk di
dalamnya kemungkinan penerapan hasil-hasil konseling (seperti beberapa
alternatif tindakan untuk mencapai tujuan, latihan-latihan bertingkah
laku) dalam kehidupan sehari-hari, dan konseling lebih lanjut.
Evaluasi pasca proses konseling biasanya lebih sukar
dilakukan, lebih-lebih dengan klien-klien yang berada di luar lembaga tempat
konselor bekerja. Konselor sukar menjangkau mereka sehingga evaluasi sistematik
sukar dilakukan. Evaluasi insidentil dapat berlangsung apabila konselor
bertemu mereka dan menanyakan dampak konseling yang pernah terlaksana, atau melalui pihak
ketiga yang mengenal klien. Evaluasi seperti ini derajat kesahihan dan keterandalannya
tidak cukup tinggi atau bahkan diragukan.
Untuk klien-klien yang berada dalam lembaga tempat
konselor bekerja evaluasi pasca proses lebih mungkin dilaksanakan; apalagi
kalau untuk mereka disediakan program pelayanan yang terjadwal sehingga
antara klien dan konselor dapat diatur pertemuan berkala. Evaluasi
melalui instrumen tertulis (misalnya angket) jugadapat dilakukan. Hasil
evaluasi itu dipakai sebagai masukan dan bahan pertimbangan baik bagi
rencana tindak lanjut yang akan dilaksanakan dalam pertemuan terjadwal
dengan masing-masing klien, maupun bagi penyusutan program-program
pelayanan periode-periode berikutnya.
2.1.3.
Tahap-tahap Keefektifan Pengentasan Masalah
Melalui Konseling
Sangat diinginkan oleh semua pihak bahwa proses tahap
konseling dapatmemberikan hasil yang sebesar-besarnya untuk menunjang
perkembangan dan kehidupan klien pada umumnya, dan khususnya untuk mengentaskan
masalah klien. Keefektifan pengentasan masalah melalui konseling sebenarnya
dapat dideteksi sejak awal klien mengalami masalah. Dari keadaan yang paling
awal itu sampai konseling yang paling efektif akhir nantinya pada waktu masalah
klien terentaskan, dapat diidentifikasi lima tahap.
Dengan memperhatikan tahap-tahap tersebut akan terlihat
apakah klien sejak awalnya sampai dengan akhirnya memang menjalani tahap-tahap
yang mengarahkan dirinya untuk mencapai keadaan terentaskan masalahnya. Atau
sebaliknya, ia berhenti pada suatu tahap dan tidak melanjutkannya ke tahap
berikutnya, sehingga keefektifan pengentasan masalah tidak meningkatkan kepada
taraf keefektifan yang lebih tinggi. Namun keefektifan konseling tidak
dapat begitu saja. Klien dituntut untuk aktif dalam proses konseling. Keaktifan
klien inilah yang justru menentukan tahap keempat keefektifan konseling, dan
partisipasi aktif klien itulah yang merupakan keefektifan konseling.
Partisipasi aktif klien itu diharapkan dapat terselenggara dari awal proses
konseling sampai konseling itu dinyatakan berakhir.
Setelah berakhirnya proses konseling, pertanyaan yang masih
tersisa ialah, apakah konseling itu telah memberikan hasil yang
benar- benar efektif ? Pertanyaan itu mengacu pada tahap keefektifan
konseling yang kelima. Konseling yang telah terselenggara itu benar-benar
efektif apabila klien benar-benar menjalankan (menerapkan) hasil-hasil
yang telah dicapai melalui konseling dalam kehidupan sehari-hari klien. Dengan
kata lain, hasil konseling itu benar-benar mengubah tingkah laku klien, dan
dengan demikian masalah klien secara berangsur-angsur teratasi. Kelima tahap
keefektifan konseling itu dapat digambarkan melalui diagram sebagai berikut
(Diagram 2).
Catatan :
Sering kali
individu datang kepada konselor tanpa memahami masalah yang sebenarnya ada pada
dirinya. Pemahaman masalah baru terjadi dalam proses konseling.
2.1.4.
Pendekatan dan Teori Konseling
Adanya sejumlah teori konseling. Apabila dititik lebih
lanjut teori-teori tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga
pendekatan, yaitu pendekatan konseling direktif, konseling non-direktif dan
konseling elektrik. Pendekatan-pendekatan ituterutama pendekatan direktif dan
non-direktif, masing-masing memiliki pandangan yang berbeda, bahkan di
sana-sini bertolak belakang, terutama tentang hakikat tingkah laku individu dan
timbulnya masalah.
Perbedaan-perbedaan tersebut mengakibatkan timbulnya
perbedaan-perbedaan dalam teknik-teknik konseling yang secara langsung
diterapkan terhadap klien.
a.
Konseling Direktif
Konseling direktif berlangsung
menurut langkah-langkah umum sebagai berikut :
1)
Analisis data tentang klien,
2)
Pensintesisan data untuk mengenali kekuatan-kekuatan
dankelemahan-kelemahan klien,
3)
Diagnosis masalah,
4)
Prognosis atau prediksi tentang perkembangan masalahselanjutnya,
5)
Pemecahan masalah,
6)
Tindak lanjut dan peninjauan hasil-hasil konseling.
Upaya pemecahan masalah didasarkan
pada hasil diagnosis yang pada umumnya berbentuk kegiatan yang langsung
ditujukan pada pengubahantingkah laku klien.
b.
Konseling Non-Direktif
Konseling non-direktif sering juga
disebut “Client Centered Therapy”. Pendekatan ini diperoleh oleh Carl
Rogers dari Universitas Wisconsin di Amerika Serikat. Konseling non-direktif
merupakan upaya bantuan pemecahan masalah yang berpusat pada klien.
Melalui pendekatan ini, klien diberi kesempatan mengemukakan persoalan,
perasaan dan pikiran-pikirannya secara bebas.
Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa
seseorang yang mempunyai masalah pada dasarnya tetap memiliki potensi dan mampu
mengatasi masalahnya sendiri. Tetapi oleh karena sesuatu hambatan, potensi dan
kemampuannya itu tidak dapat berkembang atau berfungsi sebagaimana mestinya.
Untuk mengembangkan dan memfungsikan kembali kemampuannya itu klien memerlukan
bantuan.
Bertitik tolak dari anggapan dan
pandangan tersebut, maka dalam konseling, inisiatif dan peranan
utama pemecahan masalah diletakkan di pundak klien sendiri. Sedangkan
kewajiban dan peranan utama konselor adalah menyiapkan suasana agar potensi dan
kemampuan yang ada pada dasarnya ada pada diri klien itu berkembang secara
optimal, dengan jalan menciptakan hubungan konseling yang hangat dan permisif.
Suasana seperti itu akan memungkinkan klien mampu memecahkan sendiri
masalahnya.
Dalam suasana seperti itu
konselor merupakan “agen pembangun” yang mendorong terjadinya perubahan
pada diri klien tanpa konselor sendiri banyak masuk dan terlibat langsung
dalam proses perubahan tersebut. Menurut Rogers, adalah menjadi tanggung
jawab klien untuk membantu dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang penting
dalamkonseling non-direktif adalah mengupayakan agar klien mencapai kematangannya,
produktif, merdeka dan dapat menyesuaikan diri dengan baik.
c.
Konseling Elektrik
Pendekatan dan teori-teori konseling
itu telah ditempa dan dikembangkan oleh pencetus dan ahlinya, dan telah
dipelajari oleh berbagai kalangan dalam bidang bimbingan dan konseling.
Disadari bahwa setiap pendekatan atau teori itu mengandung kekuatan dan
kelemahan, namun semuanya telah menyumbang secara positif pada dunia bimbingan
dan konseling, baik secara teoritis maupun secara praktis. Disadari pula bahwa dalam
kenyataan praktek konseling menunjukkan bahwa tidak semua masalah dapat
dientaskan secara baik hanya dengan satu pendekatan atau teori saja.
Ada masalah yang lebih cocok diatasi dengan
pendekatan direktif ,dan ada pula yang lebih cocok dengan pendekatan
non-direktif atau dengan teori khusus tertentu. Dengan pendekatan lain,
tidaklah dapat ditetapkan bahwa setiap masalah harus diatasi dengan salah
satu pendekatan atau teori saja. Pendekatan atau teori mana yang cocok
digunakan sangat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain:
1)
Sifat masalah yang dihadapi (misalnya tingkat kesulitan
dan kekompleksannya).
2)
Kemampuan klien dalam memainkan peranan dalam proses
konseling.
3)
Kemampuan konselor sendiri, baik pengetahuan maupun
keterampilan dalam menggunakan masing-masing pendekatan atau teori konseling.
Mereka yang mempelajari pendekatan
dan teori-teori itu mungkin ada yang tertarik dan merasa dirinya lebih cocok
untuk mendalami danmempraktekkan satu pendekatan atau teori konseling tertentu
saja, dan mungkin ada pula yang berusaha “menggabungkan” dan tiga teori
yang berdekatan dalam wilayah garis kontinum yang dimaksudkan di atas. Kebanyakan
di antara mereka bersikap elektrik yang mengambil berbagai kebaikan dari
kedua pendekatan ataupun dari berbagai teori konseling yang ada itu,
mengembangkan dan menerapkannya dalam praktek sesuai dengan permasalahan klien.
Sikap elektrik ini telah ada sejak lama
dan bahkan dianggap lebih tepat dan sesuai dengan filsafat atau
tujuan bimbingan dan konseling daripada sikap yang hanya mengandalkan
satu pendekatan atau satu-dua teori tertentu saja (Tolbert, 1959; Hansen,
dkk.,1977; dan Brammer & Shostrom, 1982).
2.2. AKIBAT JIKA CIRI-CIRI KERESMIAN ITU TIDAK
DIWUJUDKAN OLEH KONSELOR DALAM PELAKSANAAN LAYANAN PERORANGAN
Sebagaimana telah dikemukakan di depan, tujuan
konseling dalam bimbingan dan konseling adalah pemeliharaan dan pengembangan
diri klien seutuhnya. Kepentingan dan kebahagiaan klien yang menjadi arah
layanan konseling secara langsung mengacu kepada pemeliharaan dan pengembangan
klien itu. Apabila keresmian tidak diwujudkan maka konseling tidak dapat
dilaksanakan secara teratur, dikarenakan dalam kegiatan konseling memerlukan
proses. Tujuan yang ingin dicapai di atas sulit untuk diwujudkan, selama
pelaksanaan tidak terkontrol dan diabaikan seadanya.
Konselor tidak sepenuhnya menghadapi dan mencurahkan
perhatian kepada klien; dan sebaliknya klien tidak dapat sepenuhnya
memperhatikan konselor. Dalam hal ini baik klien maupun konselor menyediakan
diri tidak dalam kondisi transparan (ada yang ditutup-tutupi). Klien dan
konselor kurang merasa dekat satu sama lain, serta azas keterbukaan tidak akan
didapatkan. Hubungan konseling adalah hubungan pribadi yang tidak terbuka dan tidak dinamis antara klien dan
konselor akan menciptakan kerenggangan hubungan.
Wawancara konseling hanyalah pembicaraan biasa, bukan
dialog terapiutik untuk membantu klien. Sulit terpahaminya masalah klien dengan
baik serta tergugahnya hati dan pikiran klien belum tentu serta merta
membuahkan hasil terpecahkannya masalah. Untuk itu proses konseling masih perlu
dilanjutkan dengan penerapan metode khusus sesuai dengan rincian masalah dan
sumber-sumber penyebabnya agar layanan konseling dapat dikatakan
keresmiaannya.
Evaluasi pasca proses konseling biasanya lebih sukar
dilakukan, lebih-lebih dengan klien-klien yang berada di luar lembaga tempat
konselor bekerja. Konselor sukar menjangkau mereka sehingga evaluasi sistematik
sukar dilakukan. Evaluasi insidentil dapat berlangsung apabila konselor
bertemu mereka dan menanyakan dampak konseling yang pernah terlaksana, atau
melalui pihak ketiga yang mengenal klien. Evaluasi seperti ini derajat
kesahihan dan keterandalannya tidak cukup tinggi atau bahkan diragukan.
Untuk klien-klien yang berada dalam lembaga tempat
konselor bekerja evaluasi pasca proses lebih mungkin dilaksanakan; apalagi
kalau untuk mereka disediakan program pelayanan yang terjadwal sehingga
antara klien dan konselor dapat diatur pertemuan berkala. Evaluasi
melalui instrumen tertulis (misalnya angket) juga dapat dilakukan. Hasil
evaluasi itu dipakai sebagai masukan dan bahan pertimbangan baik bagi
rencana tindak lanjut yang akan dilaksanakan dalam pertemuan terjadwal
dengan masing-masing klien, maupun bagi penyusutan program-program
pelayanan periode-periode berikutnya. Baru dengan langkah-langkah di atas
layanan konseling dapat dinyatakan keresmiannya.
BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Layanan konseling perorangan adalah layanan bimbingan
dan konseling yang merupakan individu memperoleh layanan secara langsung dengan
cara tatap muka antara konselor dan individu dalam rangka memmberikan bantuan
atas permasalahan yang dihadapi individu. Layanan konseling bersifat ‘resmi”
karena layanan itu merupakan suatu kegiatan yang disengaja, mempunyai tujuan
untuk kepentingan dan kebahagiaan individu. Kegiatan konseling dilakukan atas
format yang sudah disepakati, menggunakan metode dan teknologi yang telah
teruji dan hasil pelayanan dinilai dan diberi tindak lanjut.
Konseling merupakan layanan yang teratur, terarah, dan
terkontrol, serta tidak diselenggarakan secara acak ataupun seadanya. Sebagai
rambu-rambu pokok dalam pelaksanaan layanan konseling, Munro dkk. (1979)
mengemukakan tiga dasar etika konseling, yaitu:
(a) kerahasiaan,
(b) keterbukaan, dan
(c) tanggung jawab pribadi klien.
Di atas landasan sebagaimana telah diutarakan itu,
sifat “resmi” layanan konseling ditandai dengan adanya ciri-ciri yang melekat
pada pelaksanaan layanan itu, yaitu bahwa :
a.
Layanan itu merupakan usaha yang disengaja.
b.
Tujuan layanan tidak boleh lain dari pada
untuk kepentingan dan kebahagiaan klien.
c.
Kegiatan layanan diselenggarakan dalam format yangtelah
ditetapkan.
d.
Metode dan teknologi dalam layanan berdasar teori
yangtelah teruji.
e.
Hasil layanan dinilai dan diberi tindak lanjut.
Jika ciri-ciri keresmian itu tidak diwujudkan oleh
konselor dalam pelaksanaan layanan perorangan maka kepentingan dan kebahagiaan
klien yang menjadi arah layanan konseling secara langsung mengacu kepada
pemeliharaan dan pengembangan klien itu sulit untuk dicapai. Konselingpun tidak
dapat dilaksanakan secara teratur, dikarenakan dalam kegiatan konseling
memerlukan proses. Selama pelaksanaan tidak terkontrol dan diabaikan seadanya. Konselor
tidak sepenuhnya menghadapi dan mencurahkan perhatian kepada klien; dan
sebaliknya klien tidak dapat sepenuhnya memperhatikan konselor. Dalam hal ini
baik klien maupun konselor menyediakan diri tidak dalam kondisi transparan (ada
yang ditutup-tutupi).
3.2. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun, semoga dapat
dijadikan bahan untuk mahasiswa agar memiliki gambaran dan pemahaman mengenai
proses dunia bimbingan dan konseling yang berlangsung di sekolah, khususnya
dalam layanan konseling perorangan yang harus dilakukan secara resmi.
Jika di dalam makalah ini terdapat kata atau kalimat
yang kurang berkenan, kami mohon maaf. Dan tak lupa penulis ucapkan terimakasih
kepada seluruh pihak yang mendukung dan mendorong terselesaikannya makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Prayitno dan
Erman Amti. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan Konseling. Cetakan ke dua.
Jakarta: RINEKA CIPTA.
Lesmana, J.M. 2005. Dasar-dasar Konseling. Jakarta :
UI-PRESS
Prayitno. 2005. Layanan Konseling Perorangan. Padang : FIP UNIVERSITAS NEGERI
PADANG.
Prayitno, 1995. Layanan Bimbingan & Konseling Kelompok :Dasar & Profil.
Cetakan Pertama. Jakarta : GHALIA INDONESIA.
0 komentar:
Posting Komentar